Sabtu, 18 April 2020

Kisah Misteri - Lomba Cerita Misteri












 

- SEMULA aku menolak ketika salah seorang panitia lomba mengarang cerita memintaku untuk menjadi juri. Aku menolak karena lomba kali ini tidak seperti biasanya. Para ABG menduga cerita yang akan dijadikan lomba adalah cerita pendek atau cerita bersambung. Namun, kali ini, yang dilombakan adalah cerita misteri.
Setelah berkali-kali aku tolak, ajakan panitia yang tahu persis kalau aku seorang pengarang handal, akhirnya kuterima. Apalagi honor yang disediakan cukup besar. Kemudian, aku menghubungi teman seprofesiku, Syafei dari Malang dan Margono, tinggal di Surabaya.

Setelah membaca iklan berisikan lomba cerita misteri di berbagai media, panitia merasa kewalahan menyortirnya. Panitia penyelenggara merasa heran dan senang atas animo para peserta. Kemudian, temanku, Syafei, membantu Margono yang kewalahan memilih cerita misteri yang masuk nominasi. Satu per satu naskah yang masuk aku pilah. Naskah yang agak memenuhi syarat, aku edit dan naskah yang mutunya kurang bagus aku buang.

“Mas, naskah-naskah yang masuk nominasi telah kusendirikan. Terserah Mas Danu, siapa-siapa yang terpilih menjadi juara harapan III, II dan I serta pemenang III, II dan juara pertama,” ujar Syafei seraya menunjuk ke arah naskah-naskah yang telah diseleksi di meja kerjanya. Keduanya telah menyelesaikan tugasnya dengan baik.

Kemudian, setelah aku beri honor sebagai imbalannya, keduanya pulang ke rumah masing-masing. Tinggallah aku sendiri yang bekerja keras untuk menentukan pemenangnya.

Terus terang aku kesulitan menentukan pemenangnya. Sebab, naskah yang terpilih untuk menjadi pemenang rata-rata sama bobotnya. Namun, setelah melalui seleksi yang ketat, aku bisa memilih juara pertama, kedua dan ketiga serta juara harapan I, II dan III. Beberapa hari kemudian, naskah yang aku pilih sebagai pemenang sudah siap kukirim ke media cetak yang menyelenggarakan lomba tersebut.

Besoknya, aku mau berangkat ke media cetak itu, tapi langkahku terhenti ketika melihat sebuah paket berbentuk kotak yang dibungkus kertas kuning agak kumal tepat di depan pintu rumahku tanpa nama dan alamat pengirim. Yang ada, hanya nama dan alamat rumahku dengan tulisan acak-acakan. Saat itu juga jantungku serasa berhenti berdetak begitu melihat kotak itu berisi belati yang belepotan darah segar. Sebagian darahnya meleleh di dalam kotak itu.

Sejak itu aku dan istriku menjadi stres. Untunglah, aku belum dikaruniai anak. Jadi, hanya aku berdua saja yang merasakannya. Aku kasihan melihat istriku, yang sejak menerima paket berdarah itu tubuhnya jadi agak kurus. Selera makannya turun drastis dan melihat makanan bagai melihat racun. Dia terus dihantui ketakutan yang luar biasa.

Sanak-saudara yang berdatangan ke rumahku berusaha memberi kekuatan iman agar kami tabah menghadapi semua cobaan ini. Banyak yang menyarankan agar aku segera melapor ke polisi. Tapi, aku merasa belum perlu. Aku terus berusaha menenangkan hati seraya meraba-raba, siapa yang tega berbuat keji seperti ini.

Seminggu kemudian, aku dan istriku sudah bisa meredam perasaan takut sambil terus berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar keluargaku diberi perlindungan. Hatiku senang bukan kepalang ketika melihat istriku sudah mau makan dengan lahap dan sudah bisa menjalankan aktifitasnya seperti biasa, seperti arisan keluarga dan arisan ibu-ibu PKK di kampung. Tapi sayang, semua itu tidak berlangsung lama.

Suatu ketika, menjelang senja, aku mendapat paketan misterius lagi. Kali ini, isi paketnya tidak lumrah. Aku buka paket kotak agak besar itu dengan gemetar, isinya sebuah tampar yang digulung seperti yang dipakai anggota pramuka. Gilanya lagi, di dalam kotak itu ada kertas bertuliskan, ”Silakan gantung diri hingga mampus hai juri yang goblok!”

Melihat itu, aku berusaha menenangkan diri. Sedang istriku yang sedang mandi, tidak kuberitahu. Paket itu kemudian kusembunyikan di tempat yang tersembunyi. Tapi, ketenangan rumah tanggaku kembali terusik dengan berbagai teror berikutnya.

Pagi-pagi sekali, usai shalat Subuh, seperti biasa, istriku membuka pintu rumah untuk membersihkan halaman rumah. Begitu membuka pintu, istriku langsung berteriak sambil lari ketakutan dan langsung menubruk dadaku, “Mas...Mas... Mas... lihat Mas... ada bebek yang disembelih!” Seketika itu juga, aku langsung membuang ember berisi air dan lari ke depan rumah. Maklum, saat itu aku tengah mengisi bak mandi.

Sampai di depan pintu, aku nyaris tak percaya dengan apa yang kulihat. Ada seekor bebek yang sedang sekarat dengan tubuh menggelepar-gelepar seperti habis disembelih. Lehernya nyaris putus dengan darah mengucur berkalungkan selembar kertas bertuliskan, ”Kamu tidak pantas menjadi juri yang tidak adil. Kamu sebaiknya modar saja seperti bebek yang kusembelih ini!” Usai aku membacanya, bebek itu mati. Dengan tubuh gemetar, bebek mati itu kubuang ke empang yang ada di belakang rumah.

“Bagaimana Mas, terornya kok semakin seru? Apa Mas punya musuh?” tanya istriku yang kembali dilanda ketakutan luar biasa. “Sudahlah, jangan terlalu dirisaukan. Serahkan semuanya kepada Tuhan,” ujarku menenteramkan hati istriku.

Sebulan pun berlalu. Teror keji itu sudah tidak pernah muncul lagi. Aku dan istriku pun bisa menjalankan tugas masing-masing sebagaimana biasanya.

Malam berikutnya, entah kenapa aku sulit memejamkan mata. Di malam yang sudah larut itu kulihat istriku sudah terlelap tidur. Dalam kesendirian itu aku bangun dan memencet remote TV. Beruntunglah aku, saat itu aku sempat menyaksikan siaran langsung sepakbola Liga Inggris antara Manchester United melawan Chelsea. Siaran sepakbola idolaku ini mampu menepis kegelisahanku malam itu.

Di luar, terdengar bunyi kentongan dari gardu penjagaan dua kali, yang menunjukkan waktu jam dua malam. Di musim kemarau seperti malam itu, udara di luar sangat dingin sehingga mataku sulit dipejamkan. Meski begitu, aku terus melangkah ke luar rumah dan duduk-duduk di beranda. Aku duduk sendirian hanya ditemani sebatang rokok yang terselip di bibirku.

Tak lama kemudian, tiba-tiba aku dikejutkan oleh kedatangan sebuah mobil Kijang Innova warna hitam, tepat di depan rumahku. Sedikitpun aku tidak mendengar suara deru mesinnya dan tak terlihat sinar lampunya. Tiba-tiba saja mobil itu sudah ada di depan rumahku.

Lalu, aku melihat tiga orang turun dari mobil, dua orang wanita yang masih muda dengan penampilan layaknya pegawai bank mengenakan stelan jas warna hitam dan rok bawahan hingga di atas lutut. Keduanya berambut sebahu dan sama-sama menyangklong tas di pundaknya. Sedang di belakangnya, seorang lelaki agak tua berperawakan gemuk dan kepala botak. Kemungkinan orang itu adalah sopirnya. Anehnya, mereka bertiga ketika bersalaman denganku, tangannya terasa dingin sekali. Entah mengapa? Apa karena disebabkan oleh udara malam itu yang memang sangat dingin mencekam ?

“Maaf, apa benar Mas yang bernama Danu, ketua panitia lomba mengarang cerita misteri ?” tanya salah seorang wanita yang menamakan dirinya Windarti kepadaku.

“Benar, Mbak..” jawabku singkat seraya memandang ke arah mereka secara bergantian.

“Begini, kamu ini memang menjadi juri yang goblog!” timpal wanita yang duduk di sebelahnya, yang memperkenalkan dirinya bernama Suciati, seraya menuding aku dengan pandangan kebencian.

Demikian pula orang laki-laki yang duduk agak ke belakang juga ikut nimbrung. “Aku protes, masak cerita kami bertiga yang masing-masing berjudul Mayat Terpotong Tujuh, Misteri Sepasang Pengantin Muda, dan Sang Penunggu Goa Naga tidak kamu menangkan. Kamu memang keterlaluan. Cerita-cerita picisan yang isinya hanya itu-itu saja kamu menangkan dan semuanya hanya cerita imajinasi dan fiktif. Ditambah lagi penulisnya miskin pengetahuan. Sedang cerita kami bertiga bukan cerita fiktif tapi cerita yang sebenarnya. Bahkan, tokoh yang tertera dalam cerita tersebut adalah kami bertiga”.

Orangtua yang ikut memojokkan aku itu diam sejenak sembari memandang tajam kepadaku. Aku tambah tidak mengerti dengan semua yang dia katakan. Selang beberapa menit kemudian, mereka tiba-tiba berubah wujud menjadi makhluk yang mengerikan. Satu per satu kepala mereka lepas. Lalu, kepala yang lepas dari lehernya itu ada yang berada di pangkuan, ada pula yang rambut kepalanya dijinjing di tangan seraya diayun-ayunkan ke sana-ke mari.



Yang mengerikan, kepala-kepala yang sudah lepas dari tubuhnya itu bisa tertawa-tawa sendiri dengan raut muka yang menakutkan. Aku menjadi gila melihat keanehan-keanehan yang sangat mengerikan itu. Dari leher tanpa kepala hingga hampir seluruh tubuhnya basah oleh darah segar. Kemudian, setan-setan yang masih memegangi kepala mereka masing-masing itu dengan serempak berdiri. Lalu secara serempak pula sambil berjalan terhuyung-huyung bergerak mendekatiku yang sudah tidak berdaya.
Setelah itu, aku tidak tahu lagi bagaimana nasibku. Yang jelas, siang itu aku sedang tiduran di ranjangku. Di situlah aku mendengar tangisan seorang perempuan, yang tak lain adalah istriku. Dia memeluk tubuhku erat-erat hingga dadaku basah oleh air matanya. Tak ketinggalan, para tetangga sudah berkerumun di kamarku yang sempit. Ada yang mengolesi tubuhku dengan minyak kayu putih dan ada pula yang memijit-mijitnya.

Beberapa menit kemudian, setelah aku sadar dan sehat kembali, aku menceritakan apa yang baru aku alami. Yang lebih menakutkan dan sulit dipercaya, seminggu kemudian, ketika naskah-naskah cerita misteri itu akan diterbitkan secara bergantian, ada naskah dengan nama-nama orang misterius yang menemuiku tadi sekaligus sebagai peserta lomba mengarang cerita misteri tersebut.

Namun, yang membuatku bergidik, kertasnya sudah kumal dan berbau anyir layaknya bau darah. Tulisannya yang sudah sangat buram sulit untuk bisa dibaca.

Yang masih bisa dibaca hanya judul-judulnya, persis dengan apa yang mereka katakan yakni Mayat Terpotong Tujuh, “Misteri Sepasang Pengantin Muda, dan Sang Penunggu Goa Naga. 


Sumber